Daftar Isi
- Back to Home »
- Budaya »
- Riwayat Pujangga Ronggowarsito
Posted by : Syah
30 April 2011
Nama Raden Ngabehi Ronggowarsito memang sudah tidak asing lagi. Dia adalah seorang pejangga keraton Solo yang hidup pada 1802-1873. Tepatnya lahir hari Senin Legi 15 Maret 1802, dan wafat 15 Desember 1873, pada hari Rabu Pon. Pujangga yang dibesarkan di lingkungan kraton Surakarta ini namanya terkenal karena dialah yang menggubah Jangka Jayabaya yang tersohor hingga ke mancanegara itu. Hingga sekarang kitab ramalan ini masih menimbulkan kontroversi.
R. Ng. Ronggowarsito adalah bangsawan keturunan Pajang, dengan silsilah sebagai berikut :
- P. Hadiwijoyo (Joko Tingkir)
- P. Benowo, putera Emas (Panembahan Radin)
- P. Haryo Wiromenggolo (Kajoran)
- P. Adipati Wiromenggolo (Cengkalsewu)
- P.A. Danuupoyo, KRT Padmonegoro (Bupati Pekalongan)
- R.Ng. Yosodipuro (Pujangga keraton Solo)
R. Ng.Yosodipuro alias Bagus Burham adalah R.Ng.Ronggowarsito yang kita kenal. Semasa kecil hingga remaja dia memang lebih dikenal dengan nama Bagus Burhan, dan pernah menuntut ilmu di Pesantren Tegalsari atau Gebang Tinatar, seperti yang sekilas telah dipaparkan dalam Jelajah Misteri No.0450 lalu.
Dari jalur ibundanya, R.Ng.Ronggowarsito merupakan seorang bangsawan berdarah Demak, dengan silsilah sebagai berikut:
- R. Trenggono (Sultan Demak ke III)
- R.A. Mangkurat
- R.T. Sujonoputero (Pujangga keraton Pajang)
- K.A. Wongsotruno
- K.A. Noyomenggolo (Demang Palar)
- R. Ng. Surodirjo I
- R.Ng. Ronggowarsito/Bagus Burham.
Karena ayahandanya wafat sewaktu sang pujangga belum cukup dewasa, Bagus Burhan kemudian ikut dengan kakeknya, yaitu R. Tumenggung Sastronegoro, yang juga seorang bangsawan keraton Solo.
Dikisahkan, pada saat dirawat oleh kakeknya inilah Bagus Burhan hidup dengan penuh kemanjaan, sehingga bakatnya sebagai seorang pujangga sama sekali belum terlihat. Bahkan, kesukaannya di masa muda adalah sering menyabung jago, dan bertaruh uang. Bermacam-macam kesukaan yang menghambur-hamburkan uang seakan menjadi cirri khasnya kala itu.
Namun demikian sang kakek, R. Tumenggung Sastronegoro, telah meramalkan kalau nanti cucu kinasihnya ini akan menjadi seorang pembesar setaraf dengan kakek buyutnya. Untuk mewujudkan ramalannya ini, sang kakek kemudian menitipkan Bagus Burhan ke Kyai Imam Bestari pemilik pondok pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari, Ponorogo.
Pada saat di pesantren, kebengalan Bagus Burhan semakin menjadi. Hal ini membuat Kyai Imam Bestari kewalahan. Kesukaannya bertaruh dan berjudi sabung ayam tidak kunjung luntur. Karena kebiasaan buruknya ini, maka sering kali bekal yang dibawanya dari Solo habis tak karuan di arena judi sabung ayam.
Karena kenakalannya, setelah setahun berguru, tak ada kemajuan sama sekali. Oleh karena itulah Kyai Imam Bestari memintanya agar pulang ke Solo. Sang Kyai merasa tak sanggup untuk mengajarnya ilmu-ilmu keagamaan.
Wibawa Kyai Imam Bestari membuat Bagus Burhan tak kuasa untuk menolak titahnya. Namun, dia menghadapi dilema. Kalau dirinya pulang ke Solo, kakeknya pasti akan marah besar.
Karena takut pada murka kakeknya inilah, maka bersama dengan Ki Tanujoyo pamomongnya, Bagus Burhan memutuskan untuk tidak pulang ke Solo. Dia memilih berguru ke Kediri.
Dikisahkan, dalam perjalanan menuju Kediri, Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo tersesat di sebuah hutan. Karena hingga tiga hari tiga malam tak menjumpai rumah penduduk, maka selama itu pula mereka tak makan dan tak minum. Karena kelaparan, Bagus Buhan yang biasa hidup enak dan serba kecukupan akhirnya pingsan.
Sementa itu, di tempat lain, yakni di padepokan Kyai Imam Bestari, sang Kyai memperoleh wangsit yang memberikan pertanda bahwa Ponorogo akan dilanda kelaparan. Dalam wangsit itu dikatakan bahwa bencana kelaparan ini akan tertolong bila Bagus Burhan yang telah pergi jauh itu mau diajak kembali ke Ponorogo.
Demi mendapatkan isyaroh ini, sebagai seorang linuwih, Kyai Imam Bestari langsung mengirim utusan untuk menjemput kembali bocah Bengal itu ke Solo. Celakanya, menurut laporan yang diperoleh, para utusan itu tidak mendapatkan Bagus Burhan di Solo. Bahkan, anak itu belum juga sampai ke rumah kakeknya.
Setelah mendapatkan laporan itu, Kyai Imam Bestari bermunajat kepada Allah untuk meminta petunjukNya. Singkat cerita, Bagus Burhan memang berhasil diketemukan. Bocah ini pun tidak menolak ketika diajak kembali ke padepokan, karena ini memang harapannya agar tidak mendapatkan murka dari sang kakek.
Saat menetap kembali di pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo. Perilaku Bagus Burhan ternyata tak kunjung berubah. Tetap suka berboros-boros dengan bertaruh dan berjudi sabung ayam. Hal ini sangat mengecewakan Kyai Imam Bestari. Karena tak tak tahan melihat kelakukan santrinya, maka suatu hari sang Kyai memarahi Bagus Burhan dengan kata-kata yang sangat menusuk perasaan si anak muda.
Mendapatkan kemarahan hebat dari Kyai Imam Bestari, Bagus Burhan berniat segera hengkang dari pesantren. Untunglah, dalam kondisi seperti iini Ki Tanujoyo segera mengambil peranan. Dia berusaha tampil menolong keadaan, dengan cara membesarkan hati Raden Bagus Burhan.
“Raden ini bukan keturunan orang kebanyakan. Leluhur Raden adalah bangsawan keraton yang hebat. Untuk diketahui, itu semua bukan dicapai dengan hidup enak-enak. Akan tetapi, dicapai dengan cara laku prihatin, tirakat, mesu budi dan patiraga. Apakah Raden tidak ingin seperti mereka?””